Kupasbima.com_Bima. Semangat merubah kurikulum pendidikan, Demi meningkatkan mutu ataukah orentasi proyek?.
Saat ini diskusi terkait perubahan kurikulum pendidikan menjadi bahan pembicaraan dikalangan penggiat pendidikan. Fenomena pergantian kurikulum di Indonesia seolah menjadi tradisi dikalangan pengambil kebijakan menjelang akhir jabatan rezim yang berkuasa.
Masih tersimpan jelas dalam ingatan penulis ketika pergantian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 (K-13). Perubahan kurikulum KTSP yang dimotori oleh Prof. Dr. Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) saat itu, persis menjelang berakhirnya jabatan Presiden SBY ditahun 2014.
Alasan Mendiknas bahwa urgensi Kurikulum 2013 diterapkan diseluruh lembaga pendidikan yaitu demi penguatan pendidikan karakter serta untuk mengatasi berbagai permasalahan diera globalisasi.
Awalnya Mendiknas saat itu menganggarkan biaya pergantian kurikulum hanya 684 Miliar. Namun saat uji coba K-13, anggarannya membengkak menjadi 2 Triliun.
Prof. Dr. Muhammad Nuh, kembali beralasan bahwa membengkaknya biaya ujicoba K-13 disebabkan karena tingginya biaya penggadaan buku dan biaya pelatihan guru maupun instruktur kurikulum. Setelah kurang lebih 10 tahun implementasi K-13. Pertanyaan kritisnya, bagaimana hasil dari implementasi K-13? Apakah mutu pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan?.
Berdasarkan hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) melalui lembaga the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa sejak 4 tahun terakhir mulai tahun 2015 sampai tahun 2019, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan terendah dari berbagai negara yang dievaluasi melalui PISA, bahkan hasil studi PISA terakhir ditahun 2018 yang dirilis tahun 2019, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan 74 dari 79 negara yang mengikuti studi PISA.
Penulis menilai siklus pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia hampir sama. Motivasi untuk memperbaiki mutu pendidikan hanya terlihat diatas kertas. Namun dibalik itu semua terdapat motivasi lain yang sangat materialistis. Apalagi saat ini, menjelang akhir jabatan Presiden Jokowi muncul keinginan pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-ristek) mengganti Kurikulum 2013 dengan Kurikulum Merdeka.
Waktu Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara anggota DPR-RI Komisi X bidang pendidikan bersama para pakar pendidikan (Senin, 4 April 2022). Agenda RDPU yaitu untuk mendengarkan pendapat para pakar pendidikan terkait kebijakan dan desain Kurikulum Merdeka.
Dr. H. Teuku Zakaria (Perwakilan PP Muhammadiyah) berpendapat dalam RDPU tersebut bahwa pembaharuan kurikulum adalah keniscayaan namun perlu memperhatikan landasan filosofis, sosiologis dan psikologis masyarakat. Apalagi saat ini sekolah-sekolah sementara melakukan upaya learning recovery setelah adanya learning loss akibat pandemi Covid-19. Beliau menyarankan sebaiknya guru-guru di sekolah tidak diberikan beban untuk mengadopsi kurikulum yang sama sekali baru.
Doni Koesoma, M. Ed (Majelis Nasional Pendidikan Katolik) menambahkan bahwa kurikulum bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh untuk memulihkan pembelajaran, ada banyak faktor lain untuk pemulihan pembelajaran seperti melengkapi dan memperbaiki fasilitas sekolah, meningkatkan kompetensi guru dan sebagainya.
Hal yang mengagetkan dalam RDPU tersebut adalah salah seorang anggota DPR- RI mengungkapkan ternyata selama ujicoba Kurikulum Merdeka pada tahun 2021 menghabiskan anggaran negara sebesar 2,86 Triliun hampir 3 Triliun.
Tak bisa dipungkiri bahwa kurikulum pendidikan itu memang harus direvisi atau dilakukan pengembangan sesuai dengan karakteristik masyarakat abad 21 dan kemajuan IPTEK masa kini. Namun hadirnya Kurikulum 2013 dan sekarang Kurikulum Merdeka bukanlah hasil revisi dari kurikulum sebelumnya, justru dilakukan perubahan total sehingga guru harus belajar mulai dari awal lagi.
Oleh karena itu, menanggapi fenomena ini, Prof. Suyanto, Ph.D dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melalui channel youtubenya berpendapat, sebaiknya kurikulum baru hasil pengembangan dilakukan ujicoba sampai tuntas, sehingga kurikulum tidak kelihatan prematur.
Prof. Suyanto kemudian memberikan contoh beberapa negara maju di Amerika dan Eropa. Mantan Rektor UNY itu menambahkan bahwa negara-negara tersebut membutuhkan waktu puluhan tahun untuk proses ujicoba kurikulum sebelum diterapkan secara meluas. Hal yang berbeda justru terjadi di Indonesia, tahun kemarin (2021) dilakukan pengembangan kurikulum kemudian tahun ini (2022) diterapkan secara meluas.
Sementara itu, Prof. Ali Saukah, Ph.D dari Universitas Negeri Malang (UM) berharap kepada Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU sisdiknas) agar didalam RUU sisdiknas hasil revisi nantinya, mencantumkan pasal tersendiri terkait prosedur pengembangan kurikulum, siapa yang berhak merubah kurikulum, batasan-batasan dalam pengembangan kurikulum dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan agar kedepan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia motivasinya adalah untuk perbaikan mutu pendidikan, bukan karena mengejar proyek semata. (KB 001*/Haris).
Oleh : Muhammad Irwansyah, M.Pd
Dosen : STKIP Bima
2 Komentar
Ijin tanggap bang, berdasarkan sudut pangang positif. Kurikulum merdeka ini merupakan langkah awal bagaimana guru mau ga mau harus disiapkan untuk menyesuaiakan kemampuannya dalam meramu gaya belajar anak sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya, sehingga saya rasa regulasi pemerintah saat ini sangat jelas dan tepat. Salah satu cara untuk peningkatan mutu guru saat ini pemerintah bahkan berani menyeleksi puluhan ribu guru secara bertahap dalam program guru penggerak dalam waktu yang begitu panjang pada proses pelatihannya sebagai agen perubahan pendidikan milenial yg berprofil pancasila. Itu semua semata mata bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan pencapaian mutu pendidikan kita saat ini.
BalasHapusTerimakasih banyak atas tanggapannya pak Guru.
BalasHapusMaaf pak sy sendiri terlibat dlm program pendidikan guru penggerak (PGP). Didalam program PGP tdk ada pembahasan terkait perubahn kurikulum kecuali pembahasan terkait nilai2 yg bapak sebutkan diatas spt filosofi pemikiran KHD, profil pelajar pancasila, RPP berdiferensiasi dsb.
Dan nilai2 tsb bs diintegrasikan dlm kurikulum 2013 tanpa merubah struktur kurikulum.
Kalau diprogram sekolah penggerak (PSP) baru dibahas terkait implementasi kurikulum merdeka. Krn di PSP masih dlm tahap ujicoba. Nah.. ujicoba ini yg perlu dilanjutkan dan dievaluasi. Apabila diprogram PSP berhasil silahkan diimplementasikan disekolah2 lain. Masalahnya skrg ujicoba blm selesai kok sekolah2 lain diajak utk implementasikan kurikulum merdeka. Kan aneh.