Kupasbima.com_BimaNTB. Perjalanan panjang kabupaten Bima mengalami proses perubahan wilayah administrasi internal, pemekaran kota Bima sesuai dengan amanat UU No.13 tahun 2002, melalui pembentukan wilayah kota bima sehingga daerah kabupaten mengelilingi wilayah kota. Setelah pemekaran kota bima menjadi wilayah administrasi sendiri, Kabupaten Bima juga menghendaki pembentukan suprastruktur administrasi kecematan diantaranya adalah pemekaran kecematan "LAMBITU" melaui peraturan daerah (PERDA) kabupaten bima No. 2 tahun 2006 diantara lain pada saat itu terjadi pembentukan kecematan parado, Soromandi, dan Palibelo.
Kecematan lambitu melepaskan diri dari kecematan wawo sudah sekitar kurang lebih 17 tahun (2006-2022) yang sekarang sudah tiga orang memimpin daerah (empat periode) dari almarhum Ferry Zulkarnain terpilih sebagai Bupati Bima periode 2005-2010 dan periode 2010-2015 namun pada periodenya hanya melaksanakan tugas hingga 26 desember 2013 karena meninggal dunia, setelah itu di ganti oleh Wakil Drs.H.Syafarudin kisaran satu setengah tahun sampai tiba saatnya pilkada tahun 2015 dan 2020 masa periode 2015-2020 dan 2021-2026 dimenangkan oleh pasangan yang sama yaitu sebutan akrabnya DINDA-DAHLAN.
Sebelum lebih lanjut tulisan ini saya ingin berpendapat dulu yang mungkin kontroversi bahwa sebetulnya pemekaran kecamatan lambitu berdasarkan paksaan belum memenuhi syarat 70 % untuk membentuk wilayah administrasi kecematan karena kondisi material yang belum ada, secara garis besar bukan anti pemekaran kecematan hanya saja perlu rencanan sadar secara sistimatis biar tidak mekar di waktu yang belum tepat "percuma suprastruktur tanpa infrastruktur" Harusnya dalam pandangan pribadi saya prinsip dasarnya masyarakat mau pemekaran memperoleh perubahan skala besar yang meliputi indikator kesejahteraan, akses keinginan terjangkau, efektif laju ekonomi, akses kesehatan layak dan masih banyak indikator lainya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Infrastruktur yang dimaksudkan di atas adalah bukan saja terletak pada kebanyakan orang melihat saat ini seperti proyek pembangunan jalan, pembangunan instansi pemerintah tapi idealnya pembagunan sebagai kunci utama itu adalah sumberdaya manusia yang mengedepankan nilai kemanusiaan untuk kepentingan bersama.
Dari hasil tulisan di atas terbukti banyak camat lambitu mengalami kebingungan berdaptasi secara luas karena kecamatan lambitu berdasarkan garis tidak ada pland yang mengsinergiskan dengan sektor kehidupan masyarakat secara erat, kapan pland itu disusun yaitu empat (4) tahun sebelum kecamatan pemekaran sebagai syarat bukan utama saja diukur dari luas wilayah, jumlah jiwa dan pemberian Perda NO.2 Tahun 2006, disini justru pemerintah daerah yang kelihatan gagal dalam mengkonsepkan segala rencana hanya langsung menelusuri output akhir tapi tidak berdasarkan hal-hal di anggap normatif.
Lebih jelasnya analisis ilmiah kajian ekonomi, sosiologis mengedepankan kepentingan bersama yang sudah terencana supaya tidak muncul hal-hal yang kurang peka, dalam hal ini boleh diuji wacana pemerintah kecamatan lambitu pastinya banyak yang kebingungan jikalau di perhadapkan dengan pertanyaan publik misalnya kenapa pembangunan infrastruktur di kecamatan sangat ketinggalan, kenapa pelayanan publik terbatas dan sepotong-sepotong, Kapolsek belum ada seperti pertanyaan masyarakat satu tahun yang lalu sampai sekarang, pertanyaan demikian muncul terus, pusat wisata kecamatan belum ada padahal potensi cukup besar secara alamiah. Seharusnya Camat dan seluruh pemdes serta tim partisipasi yaitu mendorong analisis potensi nilai jual yang dianggap memeliki pengaruh besar berskala daerah Kabupaten Bima maupun propinsi NTB.
Penataan kecamatan lambitu yang berjangka panjang yang dimaksud oleh saya adalah seluruh rangkaian program yang ada entah itu berupa arahan daerah, propinsi bahkan langsung instruksi pemerintah pusat melalui lembaga pemerintahan desa harus direspon secara kondisional berdasarkan kondisi yang berkembang, tidak bisa mentok bahwa seluruh rangkaian program di prioritaskan berdasarkan standar kebijakan, disitulah kita akan melihat sebuah kemandirian wilayah sewalaupun memang disitu pemerintah kecamatan tidak punya garis komando tapi bisa melalui koordinasi berskala tertentu karena kita tahu pemerintah kecamatan. Sekarang hanya menjadi lembaga pengawas bukan lagi lembaga konseptor atas kecematan yang di pimpinannya "Camat mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan dalam urusan pemerintahan, pelayanan publik, dan
pemberdayaan masyarakat desa atau sebutan lain Kelurahan" penjelasan ini seakan-akan camat tidak memilik power full karena hanya membatu Bupati.
Lambitu memiliki enam (6) desa yaitu desa sambori, kaboro, londu, teta, dan kaowa mesti terkonsolidasi atas pelaksanaan bersama satu program prioritas misalnya soal ekonomi bahkan sampai pada intervensi kebijakan politik daerah, contoh seperti kemarin masyarakat lambitu mengharapkan ada orang lambitu yang menjadi keterwakilan di parlemen legislatif akhirnya 2019 terpenuhi tapi hasilnya tetap sama saja. Ada DPRD orang asli lambitu atau tidak karena sejka dari awal rintisan memajukan lambitu hanya pada konsep ide perorangan bukan mayoritas masyarakat berdasarkan kesadaran memajukan lambitu.
Sorotan paling besar dua tahun terakhir ini di kecamatan lambitu adalah perhatian daerah kabupaten di tengah ancaman hutan lindung yang mulai menipis karena proses pertanian jagung, takutnya kedepan kecamatan lambitu di kenal sebagai pegunungan menjadi kecamatan tanpa pepohonan (hutan) karena di sisi lain kecamatan paling sempit wilayah di kabupaten bima adalah lambitu 65,40 berdasarkan data statistik 2018, hal ini bukan menyalahkan masyarakat tapi tanggung jawab pemerintah daerah mencari jalan keluar ekonomi alternatif yang tidak merusak alam sekitar yang belum kunjung hadir.
Awal pemekaran kecamatan siklus kehidupan masyarakat yang tinggal di gunung sebagai rantai etonomi, tentu bertani & berternak sebagai jawaban atas kebutuhan hidup, mayoritas petani padi hampir 100 % di musim hujan setelah itu alternatif penghasilan pasca musim hujan (kemarau) yaitu bawang putih sekitar 72 % karena di beberapa desa katakanlah kaboro dan kaowa yang kekurangan kapasitas air sehingga hanya yang tanam bawang putih itu minoritas, beda dengan desa teta, dan sambori yang kebanjiran air setiap musim.
Hebatnya lambitu tahun 2006-2010 sebelum proses perkenalan bertani jagung secara massal mereka juga berternak di sekitar lokasi bertani dan beda dengan sekarang kalau mau berternak efektifnya harus dibawa keluar daerah seperti sekarang ada yang bawa ternak ke kecamatan Lambu bahkan sampai dompu. Setelah selesai proses pertanian baru pergi ambil kembali, berarti di sini ada hal yang salah dalam proses pertanian kita sehingga menghilangkan potensi ekonomi yang lain "nanti akan kita sama-sama analisa dan workshop bagaimana baiknya langkah ekonomi kecematan lambitu".
Dari tahun 2010-2022 efek jera program pemerintah daerah terhadap kecamatan lambitu tidak tersentuh sama sekali baik itu program pembangunan berbasis pertanin yang mesti diseriuskan, maupun program pembangunan bersekala daerah seperti program infrastruktur yang menunjang kebutuhan masyarakat. Setiap kali kunjungan Bupati di kecamatan lambitu hanya sekedar program jalan-jalan santai bukan sosialisasi program dan paling banyak kunjungan politik untuk target pilkada.
Mari kita diskusikan, libatkan pemdes se-keceamatan lambitu, pemerintah kecematan, tokoh masyarakat dan pemuda pemerhati lambitu.
Opini oleh : Fahrul Ramadhan
Editor : Haris Lambitu.
0 Komentar